Rabu, 05 Desember 2018

Bab 6 "walisanga" kelas 6

WALI SANGA
Wali sanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa bada abad ke -17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengan dan Cirebon di Jawa Barat.
 Era wali sanga adalah era berakhirnya pengaruh Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Selain berdakwah mereka juga pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka membentuk perdaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesenian, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.
Sesuai namanya yaitu “Wali Sanga”, jumlah wali yang tergabung didalamnya ada sembilan, yaitu :
  1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana malik Ibrahim, keturunan ke-11 Sayidina Husani bin Ali bin Abi Thalib, diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh abad ke-14. Beliau juga disebut Sunan Gresik atau Syekh Magribi. Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek bantal.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam ke tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajawkan cara-cara baru bercocok tanam, dan merangkul rakyat kebanyakan. Beliau mencari tempat di hati masyarakat ketika itu dilanda krisis ekonomi dan perang saudara di Majapahit. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondok pesantren di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat pada tanggal 12 Rabiul Awwal 882 H yang bertepatan pada bulan April 1419 M. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Tinur
      
  1. Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmatullah, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 M di Champa. Ayah beliau adalah Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Ketika berdakwah di kerajaan Champa, Syekh Ibrahim Asmaraqandi berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah kerajaan Champa menjadi kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa dan lahirlah Raden Rahmatullah.
Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya (Dwarawati) yang menikah dengan Prabu Brawijaya V (raja Majapahit).
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putriseorang adipati Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu : Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah (ibu Sunan Kudus).
Untuk berdakwah Sunan Ampel diberi hadiah tanah di ampel Dentah yang berawa-rawa oleh Prabu Brawijaya V. beliau membangun dan memgembangkan pondok pesantren di Ampel Denta. Pada pertengahan abad ke-15 M, pesantren tersebut menjadi menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Diantara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Dalam dakwahnya beliau pertama merangkul masyarakat biasa. Cara yang beliau gunakan adalah dengan pembauran dan pendekatan. Bukan hal yang mudah untuk merubah tradisi yang dipengaruhi agama Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme, menjadi paham ketauhidan. Apalagi beliau berasal dari Champa yang memiliki bahasa yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Sedikit-demi sedikit beliau mengenalkan agama Islam mulai dari yang sederhana yang menekankan pada penanaman aqidah dan ibadah. Beliau-lah yang mengenalkan Moh Limo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon) yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak mengunakan narkotika, dan tidak berzina”.
Namun dengan kegigihannya beliau berdakwah, Beliau berhasil menanamkan ke-Islaman di Jawa, bahkan kaum muslimin menjadi golongan yang disegani di Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahitpun sangat menghormati dan menghargai hak-hak kaum muslimin. Bahkan tidak sedikit punggawa-punggawa Majapahit yang akhirnya memeluk Islam.
Walaupun ada kedekatan hubungan antara beliau dan kerajaan Majapahit dari sislsila keluarga dan pengaruh ajaran Islam yang telah banyak dianut punggawa Majapahit, namun beliau tidak pernah menggunakan kekuasaan sebagai kendaraan berdakwah atau mencari kedudukan. Beliau tetap berdiri dan mengayomi pada semua golongan. Beliau juga dikenal mengajarkan Islam dengan menjaga kemurnian Aqidahnya, dimana beliau bersama Sunan Giri dan Sunan Derajat menolak dimasukkannya Islam dalam unsur budaya untuk berdakwah. Untuk itu mereka disebut dengan kaum “Putihan”.
Selain menggunakan cara pendekatan dan pembauran, beliau juga menggunakan cara berdakwah berpikir logis dan intelek pada kaum cerdik cendekia. Cotohnya adalah ketika seorang biksu menemui Sunan Ampel yang kemudian terjadilah percakapan sekitar aqidah sebagai berikut :
Biksu : “Setiap hari tuan melakukan sembahyang menghadap ke arah qiblat. Apakah Tuhan tuan ada di sana?”.
Sunan Ampel : “Setiap hari anda memasukkan makanan ke dalam perut agar anda bisa bertahan hidup. Apakah hidup anda ada di dalam perut?”
Biksu : Terdiam dan tidak memjawab, “Apa maksud tuan berkata begitu?”
Sunan Ampel : “Saya sembahyang menghadap qiblat, bukan berarti saya tahu tuhan berada di sana. Saya tidak tahu tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia dapat mengetahui keberadaan Tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan?. Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!”
Demikian sibiksu kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitas ajaran agamanya.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel dan para wali Sanga mendirikan masjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.     
              
  1. Sunan Bonang
 Sunan Bonag dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Makdum Ibrahim. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara.
Sunan Bonang banyak berdakwah dengan kesusastraan yaitu dengan banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain suluk Wijil yang dipengaruhi oleh kitab Al Siddiq karya Abu Sa’id Al Khair. Sunan Bonang uga menggubah tembang tamba ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan dimakamkan di Tuban.

  1. Sunan Derajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470, dengan nama Raden Qosim yang kemudian mendapat gelar Raden Syarifuddin. Beliau adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Sunan Drajat terkenal dengan kecerdasannya. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di desa Drajat wilayah kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI M. Beliau memegang kendali keprajaan di wilayah Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial yang sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Beliau terlebih dahulu mengusahakan kesejahtraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islamdan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah, Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau 1520 M.  

  1. Sunan Giri
Sunan Giri lahir pada tahun 1442 di Blambangan, beliau putra Syekh Maulana Ishaq yang menikahi Dewi Sekardadu (putri Raja Blambangan). Maulana Ishaq menikahi Dewi Sekardadu setelah berhasil mengatasi wabah penyakit di Kerajaan Blambangan. Maulana Ishaqpun kemudian berdakwah di Blambangan dan mempunyai banyak pengikut termasuk Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu.
Karena pengaruh Maulana Ishaq makin meluas, Menak Sembuyumenjadi iri hati dan akhirnya berniat membunuh Maulana Ishaq. Maulana Ishaqpun akhirnya melarikan diri ke Pasai dan berdakwah di sana.
Sepeninggal Maulana Ishaq wabah penyakit kembali muncul. Karena dirasuki iri hati dan dengki pada Maulana Ishaq, Menak Sembuyu menganggap kelahiran Sunan Girilah yang telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Ia memaksa Dewi Skardadu untuk membuang anaknya dan Dewi Skardadupun menghanyutkan bayi Sunan Giri dalam sebuah kotak ke laut.
Kemudian,bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawah ke Gresik. Di Geresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Jaka Samudra.
Ketika berusia kurang lebih 11 tahun, Jaka Samudra dibawah ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu.
Setelah agak dewasa kemudian, Sunan Ampel megirimnya dan Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Jaka Samudra. Disinilah Jaka Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dulu dia dulu dibuang. Namun ayah beliau menasehati agar beliau jangan sampai dirasuki oleh dendam kepada kakeknya.
Setelah tiga tahun berguru pada ayahnya, Raden Paku dan Makdum Ibrahim melanjutkan belajar agama selama 1 tahun. Setelah itu Raden Paku yang lebih dikenal dengan Raden ‘Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Yang dituju pertama adalah rumah ibu angkatnya Nyai Gede Pinate.
Beliau membantu ibu angkatnya berniaga sambil berdakwah. Setelah beberapa lama berniaga, beliau ingin mengundurkan diri dan ingin mendirikan pesantren. Selama 40 hari, Raden Paku bertafakur disebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, ayahnya datang secara ghaib dan memerintahkan Sunan Giri mengambil sebuah bungkus tanah. Lalu beliau diperintahkan mencari tanah yang warnahnya sama, dan disitulah hendaknya pesantren berdiri.
Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Suna Giri. Dalam bahasa sansekerta, “Giri” berarti gunung.
Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Bahkan murid sunan Giri bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam diatas Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Karena tersohor dalam ilmu fikihnya, beliau mendapat gelar Sultan Al-Fakih.
Di bidang tauhid beliau sangat lurus dan keras. Sisa-sisa pengaruh Hindu-Budha beliau babat habis. Beliau tidakmau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu Sunan Giri dianggap pendukung kaum “putihan”, bersama Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati.
Misalnya tentang pertunjukan wayang. Perdebatan para wali sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. Beberapa wali dimotori Sunan Kalijaga ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah yaitu menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itu wayang beber menjadi wayang kulit.
Ketika Sunan Ampel (ketua para wali) wafat, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga Sunan Giri diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan pemberian gelar itu jatuh pada tanggal 9 Maret 1487, yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Dikalangan wali sanga, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya titumbangkan oleh Sultan agung.
Untuk tujuan dakwahnya, Sunan Giri mengarang beberapa tembang termasuk lagu-lagu permainan anak-anak seperti Delikan, Jamuran, Jithungan, dan Cublak-Cublak Suweng. Juga beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung.  
      
  1. Sunan Kali Jaga
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Beliau adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Brandal Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Dalam suatu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, dan mempunyai putra 3 yaitu : Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayu, dan Dew sofiah.
Dalam dakwahnya Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan guru beliau, yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf. Beliau juga memiliki kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakah.
Beliau sangat toleran pada budaya lokal, dan berpendapat bahwa masyarakat akan menjahu jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap yaitu mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalalah Ilir-Ilir, dan gundul-gundul Pacul. Beliaulah penggagas baju taqwa, perayaan sekaten, gerbeg maulid, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk dadi Ratu.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagai adipatih di Jawa memluk Islam melalui Sunan Kalijaga, diantaranya adalah adipatih Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ketika wafat, beliau dimakamkan di desa kadilangun, dekat kota Demak (Bintoro). Makam beliau hingga sekarang masih ramai diziarai orang.

  1. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum diketahui silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung dengan Syarifah, adik Sunan Bonang. Sunan Kudus keturunan ke-14 dari Husain bin Ali.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebaga sarana penarik masyarakatuntuk datang mendengarkan dakwahnya. Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah masjid di desa Kerjsan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dan menggantinya dengan hewan kerbau dalam perayaan Idzul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu yang masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini. Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1550. 

  1. Sunan Muria  
Sunan Muria atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga yang menikah denga Dewi Sujiah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat beliau dimakamkan.

  1. Sunan Gununga Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir sekitar tahun 1450. Beliau adalah putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dititik ini (Syekh Jamaludin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan keraton Pajajaran, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui didalam kelenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar