Jumat, 30 November 2018

Bab 5 "ali bin abi thalib" kelas 6

A.      Biografi Ali bin Abi Thalib
1.        Nama dan Nasab Ali bin Abi Thalib
Ia adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf, sepupu nabi Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seleuruh perempuan, Fatimah binti Nabi Muhammad, serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin hasyim bin Abdu Manaf. Ia masuk islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.[1]
2.      Istri Ali bin Thalib
Semasa hidup Ali, Ia mempunya banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya adalah: Fatimah binti Rasulullah SAW, Umamah binti Abul ‘Ash, Khaulah binti Ja’far bin Qais, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin bintu Hizam, Asma’ binti ‘Umais, ash-Shahba binti Rabi’ah, dan Ummu Sa’id binti ‘Urwah.[2]
3.      Anak Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki: al-Hasain, al-Husain, Muhammad al-Akbar, ‘Ubaidillah, Abu Bakar, al-‘Abbas al-Akbar, Utsman, Ja’far al-Akbar, Abdullah, Yahya, ‘Aun, Umar al-Akbar, Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-Ashghar. Adapun yang perempuan: Zainab al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul Hasan, Ramlah al-Kubra, Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum asg-Shughra, Fatimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Nafisah.[3]
B.       Pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
Setelah Khalifah Usman syahid, Alidiangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Usman) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali)". Aliberkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". Ali menjawab: "Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka.[4]
Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M.
Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh Mu’awiyah bin Abu Shufyan, dengan alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman, dan berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang di Madinah saja.[5]
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-Shahabi menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa  bersenjata yang menelan korban bukan kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tetapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu  di dalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung beberapa puluh tahun sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib.[6]

C.       Sistem Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Ia juga membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.[7]
Ali juga memindahkan pusat kekuasaan islam ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah. Pada saat itu, Ali tidak bermukim secara tetap di Kuffah, dia pergi kesana hanya untuk menegakkan kekuasaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh jasa pemukimannya yang ada diluar kota itu. Pada saat yang sama dia melakukan perpindahan-perpindahan untuk menegakkan kedudukannya dibeberapa propinsi didalam kerajannya.[8]

D.      Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Selama Ali bin Abi Thalib memerintah , ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai dengan situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali sangat berbeda dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah:
1.      Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman
Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi pemerintahannya yang masih labil,  Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.[9]
2.      Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi
Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan pemerintahannya yang dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Hal inilah antara lain yang digugat oleh kaum pemberontak. Ali segera mengambil kebijaksanaan untuk mengganti gubernur yang diangkat Utsman tersebut.[10]
3.      Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa melihat apakah masuk islam dahulu atau belakangan.
4.      Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat.
5.      Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman.
6.      Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.[11]

E.       Peristiwa-peristiwa Penting pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
1.      Perang Jamal
Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali. Aisyah telah dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya menginginkan jabatan khalifah. Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak mengusut pembunuhan khallifah ustman dan dianggap membiarkan kasus pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan dengan melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak berperang maka perangpun tidak bisa dihindarkan.
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal berjumlah antara 5.000-6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair.[12]
Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan (Thalha-Zubair) gugur atau terbunuh dimalam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “ibu negara”.[13]
2.      Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Mu’awiyah. Perang ini tidak berakhir dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati indikasi peperangan, akan tampak kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini terjadi karena faktor politik. Dapat dikemukakan dua hal yang mempengaruhi:Pertama, Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656, namun Mu’awiyah jauh lebih mapan karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur Syiria; Kedua,Mu’awiyah cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik kemantapan politik pada masa khilafah.[14]
Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat. Dalam peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak 50.000 orang, dan Mu’awiyah membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an yang dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qur’an. Perang ini diakhiri dengan tahkim,tapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan Khawarij.[15] Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.[16]
3.      Perang Nahrawan
Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij memberontak terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka mengatakan: “tidak boleh ada hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allah”. Mereka memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali.
Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Khabbabdan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka, isinya: “Siapa yang menbunuh Khabbab?” Mereka menjawab: “Kamilah semua yang membunuhnya”. Maka Ali pun keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan.[17]
4.      Munculnya Sekte-sekte
Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu percekcokan yang terjadi dikalangan pengikut Ali.  
Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik: kelompok setia Ali yang selanjutnya dinamakan Syi’ah dan kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij, benar-benar berbeda sangat jauh.
Syi’ah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri. Keduanya sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syi’ah adalah wajib. Keharusan agama dan dunia akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan, adanya imam tidak diharuskan agama. Imam tidak perlu bila manusia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia membuat kehancuran dengan membunuh.
Kemelut yang semula menitikberatkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan teologi. Seperti apa yang dilontarkan Syi’ah maupun Khawarij, mempunyai konotasi dengan pembicaraan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam

Bab 4 "utsman bin affan" kelas 6

Utsman bin Affan 
2.1Proses dan Mode Pemilihan Ustman bin Affan

Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia pada hari rabu waktu subuh, 4 Dzulhijjah 23 H karena ditikam oleh Abu Lu’luah saat menjadi imam shalat shubuh. Abu Lu’luah adalah seorang bangsa Peria yang tidak rela dikalahkan oleh Islam. Dia mempunyai dendam pribadi kepada khalifah Umar Bin Khattab. Menjelang wafatnya Setelah ditikam oleh abu Lu’luah dan merasa dirinya akan meninggal dunia, maka Umar  bin Khattab memilih tujuh orang sahabat terkemuka sebagai fomatur unntuk menetapkan siapa yang paling pantas menjadi pemimpin umat islam.mereka yang diangkat sebagai anggota formatur  yang terdiri dari enam orang yaitu Ali bin abi thalib, Utsman bin affan, Sa’at bin abi Waqosh, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwan dan Tholhah bin Ubaidillah. Keenam orang tersebut memiliki kewajiban memilih dan berhak untuk dipilih. Untuk melengkapi anggota tim, Umar bin Khattab menunjuk putranya Abdullah bin Umar. Yang terakhir ini mempunyai hak pilih, tetapi ia tidak memiliki hak untuk dipilih karena khalifah Umar bin Khattab melarangnya menjadi anggota formatur. Khalifah Umar bin Khattab tidak menginginkan Abdullah bin Umar menjadi khalifah karena hal itu dapat menimbulkan anggapan bahwa ia mewarisi kekhalifahan kepada putranya.[1]
Setelah Umar wafat, maka mereka segera berunding untuk membahas siapa yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan (kekholifahan). Perundingan berjalan cukup alot, masing-masing anggota bersikeras untuk dipilih. Ketua dalam sidang itu adalah Abdurahman bin Auf. Pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakan dan mencari suara terbanyak. Jika terjadi suara seimbang, maka keputusan diberikan kepada hakim yaitu Abdullah bin Umar. Ketika itu ada pemikiran dari Abdur Rahman bin Auf agar mereka dengan suka rela mengundurkan diri dan memberikan kesempatan kepada orang yang benar-benar paling memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai khalifah. Tetapi rupanya usul tersebut tidak berhasil, dan ternyata tidak ada satupun yang mau mengundurkan diri. Kemudian Abdur Rahman bin Auf mengundurkan diri, tetapi yang lain enggan mengundurkan diri. Pada akhirnya, forum mengarah pada dua calon saja, yaitu Utsman bin Affandan Ali bin Abi Thalib. Ketika itu sempat terjadi oksi dukung mendukung antara kelompok Ali da kelompok Utsman.
Abdur Rhman bin Auf sebagai ketua tim formatur, mengajak penduduk Madinah untuk shalat berjamaah di mesjid. Sesudah shalat berjamaah, Abdur Rahman bin Auf memanggil Ali bin Abi Thalib maju kedepan mimbar dan bertanya, “Apakah Anda bersedia berjanji menegakkan Kitab Allah, sunah Rasul, dan mengikuti kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dan Umar?Atas pertanyaan tersebut, Ali bin Abi Talib menjawab, “Saya akan mengikuti kitab Allah, sunah Rasul, dan pengetahuan (ijtihad) saya.” Selanjutnya, Abdur Rahman bin Auf memanggil Utsman bin Affan dan menanyakan hal yang sama. Calon kedua menjawab, “ya, saya akan berpegang pada Kitab Allah, sunah Rasul, dan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dan Umar.Mendengar jawaban ini, Abdur Rahman bin Auf langsung memegang tangan Utsman bin Affan dan membaiatnya sebagai khalifah. Segenap yang hadir kemudian ikut pula memberi baiat kepadanya.[2]
 Ali bin Abi Talib dan parasahabat Rasul Allah s.a.w. lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Utsman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu sebagai pemimpin tertinggi mereka yang baru. Pembai’atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro, merupakan kejadian pertama dalam sejarahkekhalifahan umat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a. di­bai’at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar bin Kha­ttab r.a. ditetapkan berdasarkan wasiyatKahlifah Abu Bakar r.a. Akan tetapi sejalan dengan pembai’atan Utsman bin Affanr.a. sebagai Khalifah, banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Ali bin Abi Talib kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan “Tidak?”. Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pas­ti. Ali bin Abi Talib sendiri tidak pernah mengemukakan secara ter­buka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti, Ali bin Abi Talib tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affanr.a. sebagaiAmirul Mukminin.
Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan “Ti­dak!”itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepadaKi­tab Allah dan Sunnah Rasul Allah,melainkan tertuju kepada ke­harusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a. dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w. yang dica­but oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan ­hak milik kaum muslimin (Baitul Mal)Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yang mengadakan penggolongan-­penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal ke­pada kaum muslimin.
 Saat terpilih menjadi khalifah Utsman bin Affantelah berusia 70 tahun. Beliau menjadi khalifah selama 12tahun.[3]
2.2 Isi Pidato Utsman bin Affan
Setelah disepakati bersama, mereka membai’at Utsman dan diikuti oleh umat islam. Pada saat pembaiatan telah selesai, Utsman berpidato di depan kaum muslimin diantara pidatonya adalah:
Sesungguhnya kalian berada ditempat sementara, dan perjalanan hidup kalian pun hanya untuk menghabiskan umur yang tersisa. Bergegaslah sedapat mungkin kepada kebaikan sebelum ajal datang menjemput. Sungguh ajal tidak pernah sungkan datang sembarang waktu dan keadaan baik siang maupun tidak pernah malam. Ingatlah sesungguhnya dunia penuh dengan tipu daya. Jangan kalian terpedaya oleh kemilau dunia dan janganlah kalian sekali-kali melakukan tipu daya kepada Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lalai dan melalaikan kalian.[4]
2.3 Strategi kepemimpinan Utsman bin Affan
Sesudah Utsman bin Affandi baiat sebagai khalifah, ia mulai mengatu siasat dan strategi kepemimpinannya. Dalam kebijakan politiknya, Utsman bin Affanmulanya mengikuti khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, pada pauh pertama masa pemerintahanya, keputusan-keputusan yang dibuat merupakan kelanjutan darikebijakan sebelumnya. Namun pada paruhkedua Utsman mengubah gaya kepemimpinanya. Hal itu tampak dengan pegantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab. Akibatnya, timbul gejolak masyarakat karena penguasa baru menetapkan peraturan yang memberatkan mereka, terutama di Mesir. Selain Mesir, daerah yang bergejolak adalah Azerbaijan dan Armenia. Kesewenangan pimpinan bau ini telah menimbulkan pemberontakan penduduk setempat.[5]
Pada awalnya, kekuatan rakyat yang kecewa atas kebijakan Utsman dapat mengalahkan pasukan pemerintah. Namun, akhirnya mereka dapat ditundukan kembali. Azebaijan diamankan oleh tentara yang dipimpin Abdullah bin Suhail dan al-Walid bin Ukbah, sedangkan Armenia dikuasai kembali oleh panglima salman bin Rabi’ah. Di tinjau dari strategi kepemimpinannya, Utsman bin Affan tidak jauh berbeda dengan Umar bin Khattab. Yang menjadi perbedaan adalah pergantian berberapa gubernur sehingga menimbulkan beberapa gejolak dan di nilai lebih mementingkan hubungan kerabat dalam pengangkatannya. Meskipun demikian, strategi kepemimpinan Utsman bin Affan dalam melanjutkan penaklukan Asia Tengah telah memperluas wilayah kekuatan di Madinah. Pada masa akhir pemerintahannya, kekuasaan Utsman bin Affan membentang dari Tripoli dibarat sampai seluruh Asia Tengah di Timur dan dari Yaman diselatan sampai Armenia Utara, Azerbaijan, dan Turkistan Utara. [6]
Kelemahan Utsman adalah terlalu mengutamakan keluarganya dari Bani Umayyah. Misalnya, ia mengangkat beberapaorang dari Bani Umayyah menjadi gubernur dibeberapa wilayah. Sifatnya yang lemah lembut dan dermawan sering dimanfaatkan oleh anggota Bani Umayyah untuk mendapatkan keuangan. Ia kurang bisa bersikap tegas terhadap keluarganya.[7]

2.4 Prestasi-Prestasi yang dapat di Capai pada Masa Khalifah Utsman bin Affan

2.4.1 Kodifikasi Mushaf Al-qur’an
Seperti sudah kamu ketahui, usaha kodifikasi (pembukuan) Al-qur’an sudah dimulai sejak khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ayat-Ayat Al-Qur’an yang sudah terkumpul pada masa itu dismpan oleh Hafsah Binti Umar, salah satu istri Rasulullah saw. Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, wilayah islam sudah sangat luas. Hal itu menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbedaan pembelajaran Al-Qur;an dibeberapa pelosok wilayah. Perbedaan itu meliputi susunan surah-surahnya atau lafaz (dialek)nya.  Pada masa Rasulullah saw., perbedaan tersebut diberi kelonggaran. Saat itu, masih memberi kemudahan agar Al-Qur’an dapat dihapal dengan cepat oleh semua umat Islam. Ketika wilayah islam makin luas, perbedaan dialek satu daerah dengan daerah yang lain makin terlihat. Salah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman melihat perselisihan antara tentara Islam ketika menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Masing-masing pihak menganggap cara membaca Al-Qur’an yang dilakukannya adalah yag paling baik.[8]
Perselisihan tersebut kemudian dilaporkan oleh Huzaifah bin Yaman kepada khalifah Utsman bin Affan. Selanjutnya, khalifah Utsman bin Affanmembentuk sebuah panitiapenyusun Al-Qur’an. Panitia ini diketuai oleh Zaid bin Sabit. Anggotanya adalah Abdullah bin Zubair dan Abdurahman bin Haris. Tugas yang harus dilaksanakan oleh panitia tersebut adalah menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur’an dalam sebuah buku yang disebut mushaf. Penyalinan tersebut harus berpedoman pada bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur’an. Apabila terdapat pebedaan dalam pembacaan, yang ditulis adalah yang dialek Quraisy. Hal itu disebabkan Al-Qur’an diturunkan dalam dialek Quraisy.[9]
Salinan kumpulan Al-Qur’an itu disebut al-Mushaf. Oleh panitia, al-Mushaf diperbanyak sejumlah empat buah. Sebuah tetap berada di Madinah, sedangkan empat lainnya dikirimkan diMakkah, Suriah, Basra, dan Kufah. Semua naskah Al-Qur’an yang dikirimkan ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai pedoman dalam penyalinan beikutnya didaerah masing-masing. Naskah yang ditinggal di Madinah disebut Mushaf al-imam atau Mushaf Utsmani. Adapun naskah yang berbeda dengan Mushaf al-imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Walaupun demikian perbedaan bacaan Al-Qur’an masih ditemukan hingga kini. Ha lini diperbolehkan apabila diriwayatkan secara mutawatir.[10]
2.4.2 Renovasi Masjid Nabawi
Seni bangunan diterapkan pada pengembangan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini didirikan pertama kali oleh nabi Muhammad saw. setelah tiba di Madinah. Masjid ini kemudian tidak hanya dijadikan tempat ibadah, juga tempat musyawarah dalam memutuskan banyak halyang berkaitan dengan pengembangan Islam keluar kota Madinah. Diperkirakan pada tahun ke-7 H, masjid ini diperluas menjadi 50-30 meter dengan 3 buah pintu. Kemuadian pada tahun ke-17 H pada masa khalifah Umar bin Khattab, terjadi lagi perluasan bangunan.pengembangan ini terus di lakukan pada masa Khalifah Usman bin Affan, bahkan diperindah. Dindingnya diganti dengan batu, dan bidang-bidang dindingnya di hiasi dengan berbagai ukiran. Tiang-tiang di buat dengan beton bertulang dan ditatah dengan ukiran, plafonnya dibuat dari kayu pilihan. Katika itulah mulai diperlihatkan unsur estetisitas atau keindahan seni bangunan dalam masjid ini.[11]
2.4.3 Pembentukan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Ustman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang memadai. Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.
Mengenai pembangunan armada itu sendiri, Muawiyah tidaklah membutuhkan tenaga asing sepenuhnya, karena bangsa Kopti, begitupun juga penduduk pantai Levant yang berdarah Punikia itu, ramai-ramai menyediakan dirinya untuk membuat dan memperkuat armada tersebut. Itulah pembangunan armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam. Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan di pimpin oleh Abdullah bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut. Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana. Ketika sampai di Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.
Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut. Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi. Atas perintah Khalifah Ustman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir (Misbach,1984:10-11). Berawal dari sinilah Khalifah Ustman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah pertama kali yang mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan kekuatan lawan.
2.4.4 Peluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama atau dengan perkataan lain pamong praja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam. Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan.
Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.
Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.
2.5 Periode Terakhir Pemerintahan Utsman bin Affan
Setelah melewati masa-masa gemilang, pada masa paruh terakhir kekuasaanya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Akan tetapi kekacauan sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.
Utsman adalah orang yang baik dan saleh namun dalam banyak hal kurang menguntungkan. Karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi di duduki oleh anggota keluarganya.
Ketika Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi sekertaris utama, segeralah timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing menjadi gubernur Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh masyarakat umum di tambah lagi tuduhan-tuduhan bahwa kerabat khalifah mendapat harta pribadi dengan mengorbankan harta umum dan tanah negara. Hakam, ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalah gunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah Negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang.
Situasi politik semakin mencekam bahkan berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan yang kuat untuk kemaslahatan umat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Pemushafan Al-Qur’an misalnya, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kesimpangsiuran bacaan Al-Qur’an sehingga perselisihan mengenai Al-Qur’an dapat dihindari. Tetapi lawan-lawannya Utsman menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak memiliki otoritas  untuk menerapkan edisi Al-Qur’an yang di bukukan itu. Dengan kata lain, mereka mendakwa Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan agama yang tidak di milikinya.
Terhadap berbagai kecaman tersebut, Utsman telah berupaya untuk membela diri dan melakukan tindakan politisi sebatas kemampuannya. Tentang pemborosan uang misalnya, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Memeng benar dia membantu saudara-saudaranya dari bani Umayyah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya bukan dari kas Negara bahkan Utsman tidak mengambil gajinya yang menjadi haknya. pada saat menjadi khalifah Utsman jatuh miskin. Karena hartanya digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya digunakan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengumpulkan harta seperti sebelum menjadi khalifah.
Dalam hal ini Utsman berkata: “pada saat pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik unta dan kambing terbanyak di Arab. Hari ini aku tidak memiliki unta dan kambing kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Terhadap penyokong, Aku memberikan kepada mereka apa pun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi. Tentang kekeayaan Negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun bagi orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan Negara, apa yang aku makan adalah hasil nafasku sendiri.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Di Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang gubernur yang di angkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras terjadi di mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad, saudara angkat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena konflik sosial pembagianghanimah. Pemberontak berhasil mengusir gubernur yang diangkat khalifah, mereka yang terdiri dari 600 orang mesir itu menuju ke madinah. Para pemberontak dari Kufa dan Basrah bertemu dan bergabung dengan kelompok mesir. Wakil-wakil mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah menuruti kemauan mereka dengan mengangkat  Muhammad bin Abu Bakar menjadi gubernur di Mesir. Dam merekapun puas terhadap kebijaksanaan khalifah dan mereka ulang  kenegri masing-masing. Tetapi ditengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat tersebut ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekertaris khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai, tetapi mereka tidak dapat menerimanya. Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur’an, pada tahun 35 H/17 juni 656 M. menurut Lewis, pusat oposisi sebenarnya adalah di Madinah sendiri. Di Madinah Thalhah, Zubair dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang dating ke Madinah untuk melampiaskan rasa dendamnya yang meluap-luap itu.
Menurut Ahmad Al-Usairy dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam, salah satu faktor yang menyebabkan pemberontakan dan pembangkangan adalah berkobarnya fitnah besar di tengah kaum muslimin yang di kobarkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang yahudi asal yaman yang berpura-pura masuk islam. Orang ini telah berkeliling ke berbagai kota kemudian menetap di Mesir. Kemudian dia menaburkan keraguan di tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Utsman dan para gubernurnya. Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan para gubernurnya. Dengan gencarnya dia mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan menggantinya dengan Ali sebagai usaha menaburkan fitnah dan perpecahan.
Mulailah pecah fitnah di Kufah pada tahun 34 H/ 654 M. mereka mulai menuntut kepada khalifah untuk menggati gubernur kufah. Akhirnya Utsman menggantinya untuk memenuhu tuntutan mereka dan sebagai uapya untuk meredam fitnahyang lebih besar. Setelah itu ada sejumlah besar manusia yang datang dari kufah, basrah, dan mesir untuk mendebat khalifah. Ali mencegah mereka dan menerangkan apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar. Dan khalifah melakukan pembelaan yang masuk akal. Maka pulanglah mereka dengan tangan hampa.
Abdullah bin Saba’ paham bahwa kesematanya yang telah ia bangun selama bertahun-tahun akan lenyap begitu saja. Maka ia mencari siasat licik dan mengatur strategi. Dia membuat surat palsu atas nama khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan naik. Disebutkan bahwa siapa saja yang tidak setuju akan dibunuh.

Bab 3 "umar bin khattab" kelas 6

UMAR BIN KHATTAB 
Dalam pentas sejarah umat manusia, nama Umar tidak dapat dipisahkan dengan kejayaan Islam. Berbagai prestasi yang gemilang  yang telah dicapai yang belum pernah diperoleh pada masa sebelumnya. Sangatlah layak jika kemudian nama Umar punya tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin terkenal yang ada dikalangan suku Quraiys.
Salah satu sistem yang dikembangkan oleh Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya adalah ekspansi  yang dilakukan secara besar-besaran dan pembaruan dalam sistem administrasi negara. Sehingga menjadi kekuatan politik bagi pemerintahan Islam pada waktu itu.
Sejarah mencatat nama Umar bin Khattab sebagai pembangun peradaban Islam. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-shiddiq ini adalah pendobrak dua kekuatan adidaya, Persia dan Romawi, yang telah berabad-abad mencekeram dunia. Kecerdasan dan kehebatan Umar tidak saja dapat dilihat dari jasa-jasanya, tapi juga dari kepribadiannya yang agung. Kondisi  fisik dan kemampuannya sangat menonjol menjadikan khalifah Umar mampu memikul tanggung jawab besar. Ia benar-benar telah melakukan pembaruan diberbagai bidang kehidupan .
Umar telah terbukti memiliki kualitas kepribadian yang agung yang mampu membawa umat islam kepada kejayaan. Kehebatan Umar telah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan, baik yang beragama Islam maupun yang tidak.
Apa yang dilakukan Umar bin Kaattab merupakan langkah cemerlang, sehingga diangap pemerintahan paling berhasil dari empat masa Khulafaurrrasyidin, yang berhasil membawa umat Islam mencapai kejayaan di bidang politik dan kesejahteraan dibidang sosial ekonomi yang belum sempat dicapai pada masa pemerintahan Khalifah sebelum dan sesudahnya.
Dari uraian  pada latar belakang di atas,  maka pembahasan dalam makalah ini akan di fokuskan pada  pokok-pokok pembahasan, yaitu:
1.Biografi Umar bin Khattab ra.
2.Kekhalifaan Umar bin Khattab
3.Strategi dan Sistem pemerintahan dalam perkembangan Islam sebagai suatu kekuatan politik
Biografi Umar bin Khattab ra.
Umar lahir dari keturunan yang mulia, Ia berasal dari suku Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada leluhur mereka yang kesembilan. Pohon keturuan Umar dapat ditelusuri sebagai berikut:  Umar adalah putra Khattab, putra Nufail, putra Abd al-‘Uzza, putra Riya, putra Abdullah, putra Qarth, putra Razah, putra ‘Adiy, putra Ka’ab, putra Lu’ay, putra Ghalib al-‘Adawi al-Quraisyi. Nasab Umar bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab. Sementara itu, ibunda Umar adalah Hantamah putri Hasyim, putra al-Mughirah al-Makhzumiyah.[1]
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan di Makkah kira-kira empat tahun sebelum perang Fijar dan dia telah tumbuh dengan sehat. Sedangkan Ibnu al-Atsir dalam Usul al-Ghabah meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah SAW. Umar adalah figur kefasihan dalam berbicara dan dalam balaghah, juga merupakan figur ketegasan dalam menyatakan dan membela hak. Semasa kecil dia suka menggembala kambing milik ayahnya, kemudian aktif berdagang ke Syam. Dia adalah seorang yang berasal dari keluarga dimana kemuliaan pada zaman jahiliah bermuara kepada mereka, disamping sebagai duta besar bagi puaknya pada masa itu.[2]
Umar bin Khattab memeluk agama Islam pada tahun kelima dari kenabian.[3] sebelum menjadi muslim, beliau termasuk pemimpin Quraiys yang sangat gigih menentang Islam. Oleh karena itu dengan masuknya beliau kedalam agama Islam sangat berpengaruh terhadap kaum Quraiys. Apalagi Umar adalah salah seorang yang disegani di kalangan kaum Quraiys.
Setelah Islam, Umar menjadi salah seorag sahabat Nabi Muhammad SAW. yang terdekat. ia digelari oleh Nabi Muammad SAW. dengan al-Faruq, artinya pembeda/pemisah. Maksudnya ,Allah telah memisahkan dalam  dirinya antara yang hak dan yan bathil. Hanya Umar yang begitu berani mengemukakan pikiran-pikiran dan pendapatnya di hadapan  NAbi SAW.[4]Baca juga: Contoh Format Susunan Makalah yang Baik dan Benar
Namun, sebagian kalangan mengartikan al-Faruq sebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa membangkan dan melawan dakwah Rasul. Pada masa-masa awal memeluk Islam, Umar bertanya Kepada Rasul, “wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?” Rasul Menjawab, “Ya, demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.” Kemudian kembali Umar berkata,”jika demikian mengapa kita sembunyi-sembunyi dalam mendakwakan ajaran agama kita? Demi zat yang mengutusmu atas nama kebenaran, sudah saatnya kita keluar.[5]
Umar juga dicatat sebagai orang yan pertama kali digelari Amir al-Mu’minin-pemimpin orang beriman. Seorang utusan dari Irak datang menghadap kepada Umar untuk memberitakan keadaan wilayah pemerintahan Irak. Saat tiba di Madinah, utusan itu masuk ke masjid  dan bertemu dengan Amr bin Ash. Ia bertanya tentang Khalifah Umar, “wahai Amr , maukah kau mengantarku menghadpa Amirul Mukminin?” Amr balik bertanya, “mengapa engkau memanggil Khalifah dengan Amirul Mukminin?” utusan itu menjawab , “ya, karena Umar adalah pemimpin  (amir), sementara kita adalah orang-orang beriman (mu’minin).” Amr menilai panggilan itu sangat baik. “Demi Allah, tepat sekali engkau mnyebutkannya.” Sejak itu, gelar Amirul Mukminin lekat pada Umar dan para khalifah sesudahnya[6].
Diantara kelebihan Umar bin Khattab ialah beliau memiliki sifat yang tegas yang ia warisi dari bapaknya, selain itu beliau adalah seorang pemimpin yang shaleh, adil, jujur dan   sederhana serta selalu mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Karakter-karakter tersebut menjadi modal utama beliau dalam mensukseskan politik pemerintahannya .
Kekhalifaan Umar bin Khattab (13-23 H / 634-644 M)
Sebelum Abu Bakar meninggal, ditunjuklah Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Menurutnya hanya Umar bin Khattablah yang mampu untuk meneruskan tugas kepemimpinan umat Islam yang waktu itu berada pada saat-saat yang paling menentukan dalam sejarahnya yang akan mempengaruhi keberadaan Islam dan umatnya yang masih muda usianya, khususnya dengan banyaknya penaklukan-penaklukan umat Islam.[7]
Sebelum Abu Bakar memutuskan untuk menetapkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, terlebih dahulu  beliau berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang datang menjenguknya, antara lain : Abd al-Rahman bin Auf,  Usman bin Affan, Usaid bin Hudlair al-Anshary, Said bin Zaid dan lain-lain dari kaum Muhajirin dan Anshar. Ternyata mereka tidak keberatan atas maksud  Khalifah untuk mencalonkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya.[8]
Melihat kondisi umat Islam waktu itu, penunjukan Abu Bakar terhadap Umar sebagai penggantinya merupakan pilihan yang sangat tepat. Umar adalah seorang yang berkharisma tinggi, dan mempunyai sifat yang adil amat disegani terutama terhadap orang yang mengenalnya. Salah satu bukti atas besarnya kharisma dan keadilan  Umar dihadapan pengikutnya adalah kebijaksanaannya ketika memecat Khalid bin Walid yang digelari Rasulullah saw dengan gelar pedang Allah yang amat dikagumi kawan maupun lawan. Pemecatan itu sendiri dilakukan sewaktu umat Islam sangat membutuhkan seorang panglima perang sehebat Khalid bin Walid. Tunduknya Khalid kepada kebijakan Umar itu menunjukkan betapa hebatnya kharisma Umar bin Khattab di mata kaum muslimin.[9]
Umar yang namanya  dalam tradisi Islam adalah yang terbesar pada masa awal Islam setelah Muhammad SAW. telah menjadi idola para penulis Islam karena keshalehan, keadilan dan kesederhanaannya. Mereka juga mengannggapnya sebagai personifikasi semua nilai yang harus dimiliki  oleh seorang khalifah. Wataknya yang yang terpuji menjadi teladan bagi para penerusnya.[10]
Para ilmuwan Barat pun mengakui ketokohan Umar bin Khattab dalam panggung sejarah Islam. Michael H. Hart menempatkannya pada urutan ke-51 dari seratus tokoh yang dianggap sangat berpengaruh di dunia.[11]
Meskipun pengangkatan Umar  bin Khattab sebagai khalifah merupakan fenomena yang baru yang  menyerupai penobatan  putra mahkota, tetapi harus dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tersebut tetap dalam bentuk musyawarah yang tidak memakai sistem otoriter. Sebab Abu Bakar tetap meminta pendapat dan persetujuan dari kalangan sahabat  Muhajirin dan Anshar.
Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik Masa Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar menyelesaikan tugas kekhalifaannya dan menyusul kepergian Rasulullah SAW. Kehadirat Allah SWT. Umar meneruskan langkah-langkahnya untuk membangun kedaulatan Islam sampai berdiri tegak. Kemmpuannya dalam melaksanakan pembangunan ditandai dengan keberhasilannya diberbagai bidang.
Pemerintahan dibawah kepemimpinan Umar dilandasi prinsip-prinsip musyawarah. Untuk melaksanakan prinsip musyawarah itu dalam pemerintahannya, Umar senantiasa mengumpulkan para sahabat yang terpandang dan utama dalam memutuskan sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Karena pemikiran dan pendapat mereka sangat menentukan bagi perkembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Umar menempatkan mereka dalam kedudukan yang lebih tinggi dari semua pejabat negara lainnya. Hal ini tidak lain karena dilandasi rasa tanggung jawab kepada Allah SWT.[12]
Di zaman Umar gelombang ekspansi secara besar-besaran  pertama terjadi, ibukota Syiria, Damaskus ditaklukkan dan setahun kemudian (636 M), setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiriah jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqash. Iskandaria ditaklukkan pada tahun 641 M. Dengan demikian,  Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah ibukota dekat Hirah di Irak, ditaklukkan pada tahun 637 M, dari sana serangan dilanjutkan ke ibukota Persia, al-Madain ditaklukkan pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Musol dapat dikuasai. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi jazirah Arabiah, Palestina, Syiriah, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[13]
Umar mengajak dunia memeluk Islam dengan ajakan yang baik dan penuh hikmah. Setelah pasukan muslim menaklukkan Persia, Umar berwasiat kepada Sa’ad ibn Abi Waqash, ”kuperintahkan engkau untuk mengajak mereka memeluk Islam; ajakla mereka dengan cara yang baik, sebelum memulai pertempuran. Umar juga berwasiat kepada para pemimpin pasukan agar tidak memaksa penduduk setempat untuk mengganti agama mereka dengan Islam. Umar justru berwasiat agar umat Islam dapat memuliakan mereka dan tidak mengganggu praktik-praktik ibadah mereka.[14]
Seiring dengan berkembang dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab mengharuskan ia mengatur adminstrasi pemerintahannya dengan cermat. Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab dipandang sebagai Khalifah yang cukup berhasil mengembangkan dan mewujudkan tata pemerintahan dan sistem adminstrasi kenegaraan yang baik. Baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, politik, hukum  maupun  ekonomi.
Adapun sistem yang beliau terapkan dalam keihidupan sosial kemasyarakatan ialah menerapakan perlunya menghargai hak-hak individu dalam kehidupan masyarakat. Hal itu tampak pada masyarakat yang ditaklukkannya. Beliau memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya masing-masing.
Dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan kenegaraan, Umar menyelesaikan tiap permasalahan yang dihadapi tidak cukup dengan pengamatan fisik semata-mata. Semua diselesaikan dengan peelitian yang cermat, teliti dan seksama. Kebijakan ini diberlakukan ke seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab kekhalifaannya. [15]
Lebih jauh lagi, Umar berhasil menghapuskan sistem feodal Roma yang diterapkan di Suria, dan kemudian membagi-bagikan tanah di situ kepada penggarap yang asli, yang memang penduduk Suriah[16]
Wilayah kekuasaan yang sangat luas itu mendorong Umar untuk segera mengatur administrasi negara. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu: Mekah, Madinah, Syiriah, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir, dan yang menjadi pusat pemerintahannya adalah Madinah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Umar bin Khatab telah menciptakan sistem desentralisasi dalam pemerintahan Islam.[17]
Sejak pemerintahan Umar, telah dilengkapi adminstrasi pemerintahan dengan beberapa jawatan yang diperlukan sesuai dengan perkembangan negara pada waktu itu. Jawatan-jawatan penting itu antara lain adalah; Dewan  al-Kharaj  (jawatan pajak) yang mengelolah adminstrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Dewan al-Hadts (jawatan kepolisian) yang berfungsi untuk memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang nantinya akan diadili oleh qadhi. Beliau juga telah merintis jawatan pekerjaan umum (Nazarat al-Nafiah), Jawatan ini bertangung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung pemerintah, saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, rumah-rumah sakit dan sebagainya.[18]
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar juga telah didirikan pengadilan,  untuk   memisahkan antara kekuasaan eksekutif  dan yudikatif  yang pada pemerintahan Abu Bakar, khalifah dan para pejabat adminstratif merangkap jabatan sebagai qadhi atau hakim. Awalnya konsep rangkap jabatan trersebut juga diadopsi pemerintahan Umar. Tetapi, seiring  dengan perkembangan keukasaan kaum muslimin, dibutuhkan mekanisme administraif  yang mendukung terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik[19].
Setidaknya ada 3 faktor penting yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan umar dalam bidang hukum yaitu militer, ekonomi dan demografis (multi suku)
1. faktor militer
Penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang tak dapat difungkiri. Beliau menaklukan Irak, Syiria, Mesir, Armenia dan daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Romawi dan Persia.[20] Untuk mewujudkan dan menyiapkan pasukan profesional, Umar menciptakan suatu sistem militer yang tidak pernah dikenal sebelumnya yaitu seluruh personil militer harus terdaptar dalam buku catatan negara dan mendapat tunjangan sesuai dengan pangkatnya. Pembentukan militer secara resmi menuntut untuk melakukan mekanimisme baru yang sesuai dengan aturan-aturan militer.
2. faktor ekonomi
Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, tentu membawa dampak pada pendapatan negara. Sumber-sumber ekonomi mengalir ke dalam kas negara, mulai dari kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak perlindungan), ghanimah (harta rampasan perang), Fai’ (harta peninggalan jahiliyah), tak ketinggalan pula zakat dan harta warisan yang tak terbagi[21]. Penerimaan negara yang semakin bertumpuk, mendorong Umar untuk merevisi kebijakan khalifah sebelumnya (Abu Bakar). Umar menetapkan tunjangan yang berbeda dan bertingkat kepada para rakyat sesuai dengan kedudukan sosial dan kontribusinya terhadap Islam. Padahal sebelumnya, tunjangan diberikan dalam porsi yang sama.
3. faktor demografis
Faktor ini juga sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar. Jumlah warga Islam non-Arab semakin besar setelah terjadi penaklukan sehingga kelompok sosial dalam komunitas Islam semakin beragam dan kompleks sehingga terjadi asimilasi antara kelompok. Terlebih lagi setelah kota Kufah dijadikan sebagai kota pertemuan antarsuku baik dari utara maupun selatan. Perbauran inilah yang membawa pada perkenalan institusi baru.
Dari uraian faktor-faktor yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan Umar di atas, dapat dipahami dan disimpulkan bahwa metodologi Umar dalam menetapkan hukum dipengaruhi oleh dua sikap yaitu beradaptasi dengan kemajuan zaman dengan kreatif dan berorientasi pada sejarah secara kontekstual
Beberapa Kasus Penetapan Hukum Umar
1. Kasus Mauallaf
Dalam surah Taubah ayat 60, Allah telah menjelaskan bahwa ada delapan kelompok yang berhak menerima zakat. Diantaranya adalah muallaf yaitu orang yang masih lemah imannya, agar mereka tetap memeluk Islam dan orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam atau menahan diri untuk tidak mengganggu umat Islam. Namun pada masa pemerintahan Umar, orang-orang kafir tidak lagi mendapatkan zakat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakar dengan alasan bahwa kondisi umat Islam pada masanya telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah mantap.
Menurut Umar, muallaf dari kelompok kafir hanya berhak menerima zakat di kala Islam masih lemah, akan tetapi jika alasan itu sudah tidak ada (Islam sudah kuat) maka mereka tidak berhak lagi. Keputusan Umar ini berdasarkan penalaran ijtihad tahqiq al-manath (memperjelas dan merealisasikan alasan hukum syariat) yang tidak bersentuhan langsung dengan teks.[22] Keputusan ijtihad Umar tidaklah bertentangan dengan nash al-Qu’ran dan tidak menggugurkan hukum muallaf dari kelompok penerima zakat, melainkan hanya merupakan penerapan hukum untuk suatu kondisi dan pada saat tertentu karena ada maslahah yang perlu dicapai. Sedangkan muallaf dari golongan Islam tetap mendapatkan zakat.[23]
2. Kasus potong tangan bagi pencuri
Dalam hukum Islam, pencurian yang dilakukan oleh seseorang akan dihukum  dengan hukuman potong tangan.[24] Namun terkadang sebagian umat Islam tidak memahami model-model pencurian yang mendapat hukuman potong tangan, bahkan terkadang arogan untuk menvonis semua pencuri dihukum dengan hukuman potong tangan, sehingga menimbulkan imej bahwa hukum Islam itu tidak manusiawi. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Umar pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan terhadap pencurian di kala umat Islam terbelit krisis ekonomi. Umar tidak menentang hukum potong tangan akan tetapi memperketat kriteria seorang pencuri dijatuhi hukuman yang sangat berat ini.
Oleh karena itu, kasus pencurian perlu difahami dan diteliti secara menyeluruh, bukan saja menyangkut objek, materi curian akan tetapi juga memahami penyebab terjadinya kejahatan itu sendiri dan sudah barang tentu pelakunya. Pada akhirnya hukuman potong tangan tidak semudah yang dipahami oleh sebagian umat Islam saat ini, sehingga tidaklah layak mengatakan bahwa Islam tidak mengenal HAM. Dan sangat perlu diingat bahwa menjaga keamanan masyarakat itu lebih penting, meskipun dengan cara mengorbankan seseorang yang sudah menjadi sampah masyarakat.
3. Kasus ghanimah
Sejarah Islam telah menjelaskan kepada umat Islam bahwa harta yang dihasilkan dari kontak senjata dengan non-Islam, seperlimanya dialokasikan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.[25] Sedang empat perlima dibagikan kepada pasukan yang ikut dalam peperangan. Namun Umar yang menjadi khalifah kedua tidak memberlakukan hukum di atas dengan berbagai pertimbangan.
Pertimbangan Umar dapat disimpulkan dari sidang musyawarah yang diadakan oleh beliau dengan para sahabat-sahabatnya sebagai berikut:
Penaklukkan tidak selamanya terjadi terus menerus dan  penghasilan negara Islam tentunya akan berkurang.
Menjaga ekonomi dan keuangan negara
Kecenderungan umat Islam untuk berperang bukan lagi atas dasar kejayaan Islam akan tetapi karena harta rampasan.
Belanja negara yang semakin besar dan membengkak seperti biaya operasional penjaga perbatasan dan perlengkapan militer serta santunan janda-janda dan anak-anak.[26]
Pemaparan dan penjelasan berikut contoh-contoh keputusan Umar yang tertera di atas dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah sekaligus dijadikan sebagai metode dalam mencetuskan hukum. Beberapa point penting yang terkait dengan alasan perubahan hukum yang dilakukan oleh Umar sebagai berikut :
Memperhatikan dan mengkaji alasan hukum (illat al-ahkam)
Hikmah dan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat
Perkembangan masyarakat yang terus berkembang dan berubah
Kondisi kehidupan masyarakat
Selain membentuk lembaga peradilan negara  dalam upaya penegakan hukum, Umar juga membentuk lembaga-lembaga negara lain, guna menunjang tugas-tugas pemerintahan. lembaga-lembaga yang dibentuk itu antara lain Lembaga Pendaftaran dan pencatatan penduduk yang bertugas melakukan sensus penduduk. Sebuah lembaga yang pernah ada sebelumnya. Disamping itu Umar juga membentuk Dinas (kantor) pos, Kas Negara (baitul mall), percetakan negara  yang bertugas untuk mencetak uang resmi pemerintah, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan markas-markas tentara. Lembaga-lembaga tersebut tersebar disetiap wilayah dan ditangani oleh orang-orang atau penduduk setempat.[27]
 Dalam pemerintahan Umar seluruh pejabat dan pegawai pemerintahan harus mampu melaksnakan tugas dengan baik, karena Umar juga menggunakan petugas intelejen untuk mengawasi mereka, serta selalu mencari keterangan tentang kemungkinan penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang tidak adil terhadap penduduk.[28]
Umar adalah seorang khalifah yang bersikap keras dan tegas kepada kepada para gubernurnya (pembantunya). Dia begitu khawatir mereka akan bertindak dengan tindakan yang akan membuat rakyat takut kepada mereka, mau menghinakan diri dan dengan demikian berarti mereka telah dididik menjadi pengecut dan berkarakter tidak baik. Untuk itu ia selalu membuka diri untuk menerima berbagai keluhan dari para pembantunya, lalu hal tersebut  disampaikan kepada masyarakat luas dalam khutbanya.[29]
Dan hal yang paling penting juga bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khattab penetapan kalender Hijriah dimulai  sebagai kalender Islam, dengan  peristiwa hijrah sebagai titik awal penghitungan sistem kalender dalam Islam.
Khalifah Umar bin Khattab memerintah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), beliau dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah.[30] Tidak diketahui latar belakang dan tujuan utama pembunuhan itu. Tetapi para ahli sejarah mengatakan, bahwa terdapat permusuhan yang meningkat antara bangsa Persia dengan Khalifah Umar bin Khattab. Permusuhan itu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
1. Dimasa Umar negara Persia dibuka oleh Islam dan bangsa Arab masuk ke daerah itu. Kemungkinan hal itu dianggap bangsa Persia sebagai penjajahan, sedangkan Persia adalah satu negara besar yang tidak pernah dijajah atau ditundukkan oleh siapapun.
2. Banyak pembesar Persia seperti raja, menteri-menteri dan lain-lainnya yang kehilangan jabatan. Hal ini menimbulkan rasa kesal dan tidak puas, apalagi sebelumnya kekuasaan mereka sangat luas dan memiliki banyak hamba sahaya dan pengikut.[31]
Demikianlah gambaran singkat tentang Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang agung dengan segudang  prestasi yang gemilang telah dicapai dalam pemerintahannya, eksapansi-eksapansi yang dilakukan dan penataan administrasi pemerintah yang tepat dan cermat  sehingga dalam jangka waktu kurang lebih 10 tahun kepemimpinannya telah mampu membawa umat Islam kesituasi yang gemilang yang belum pernah dicapai sebelumnya.